PACITAN - Program “NGOJEK” (Ngobrol Bareng Jekso) yang digagas oleh Kasi Intelejin Kejaksaan Negeri (Kejari) Pacitan, Yusaq Djunarto mendapat animo yang besar dari masyarakat, bahkan masyarakat meminta waktu diskusi santai dengan Kejaksaan Negeri Pacitan. Ngojek kali ini diselenggarakan di Jamur Kejari Pacitan (halaman belakang Kejari Pacitan) digunakan untuk melaksanakan diskusi dengan para Kepala Desa se-Kecamatan Punung beserta Camat Punung.
Pertanyaan yang diajukan, ada warga kredit sepeda motor, namun ketika pembayaran kredit nunggak, motor ditarik oleh orang secara paksa dengan alasan ada perintah dari Finance karena nunggak kredit, atas permasalahan tersebut salah seorang Kepala Desa menanyakan bagaimana dari kacamata hukum mengatasi persoalan terkait hal tersebut?
Sehubungan dengan pertanyaan tersebut, sebelumnya saya memberikan penjelasan terkait dengan proses perjanjian kredit motor.
Dalam perjanjian kredit kendaraan bermotor pengalaman saya (pengalaman pribadi), sebelum dilakukan akad kredit, pihak calon pembeli memilih kendaraan katakanlah di sebuah showroom/dealer kendaraan (kendaraan second/baru), terjadilah tawar-menawar harga, setelah disepakati harga barang apabila calon pembeli melakukan pembelian secara kredit pihak penjual showroom/dealer akan menawarkan perusahaan penjamin kredit dan calon pembeli akan memilih perusahaan penjamin mana yang dipilih, biasanya masing-masing perusahaan penjamin terdapat +/ - nya baik bunga maupun fasilitas lainnya yang ditawarkan.
Kedua : penjual akan memberitahukan kepada perusahaan penjamin dan perusahaan penjamin akan melakukan survei ke tempat tinggal calon pembeli hal-hal yang ditanya biasanya terkait dengan penghasilan setiap bulannya, tempat tinggal apakah milik sendiri atau kontrak dan lain-lain terkait dengan kemampuan finansial.
Ketiga: setelah petugas survei merasa layak calon pembeli untuk dijamin maka dibuatkan surat perjanjian antara pihak pembeli dengan penjamin (biasanya berisikan besaran uang muka, besar angsuran tiap bulan, jangka waktu pinjaman, hak dan kewajiban masing-masing pihak),
keempat : pihak penjamin memberitahukan kepada penjual bahwa sudah ada kesepakatan penjaminan dengan demikian apabila barang yang dibeli kendaraan baru pihak penjual akan mengurus surat-surat kendaraan berupa STNKB dan BPKB ke samsat untuk penerbitannya (dalam STNKB dan BPKB) tertera identitas pembeli misalnya nama : Eri Yudianto alamat Ronggo Warsito No. 3 Pacitan.
Kelima : sesuai kesepakatan pada hari dan tanggal yang telah ditentukan Pihak penjual menyerahkan kendaraan yang dibeli (biasanya STNKB belum diserahkan karena masih dalam pengurusan).
Keenam : pada pada hari dan tanggal yang telah disepakati penjual (dealer) menyerahkan STNKB kepada pembeli sedangkan BPKB dibawa oleh Penjamin sebagai jaminan kredit.
Ketujuh : dalam hal perpanjangan/pembayaran kendaraan bermotor biasanya pembeli diberikan salinan/copy BPKB yang telah dilegalisir untuk syarat perpanjangan pajak kendaraan bermotor dan BPKB diserahkan ketika kredit sudah lunas
Baca juga:
Sinergi Bersama Antisipasi Karhutla 2024
|
Pengertian Fidusia
Pasal 1 angka 1 UU No. 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyebutkan Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Maksud dari pasal tersebut, terdapat 3 (tiga) sub unsur yaitu pengalihan hak kepemilikan suatu benda maksudnya adalah hak kepemilikan beralih (untuk sementara waktu) kepada penjamin/lembaga penjamin kedua : atas dasar kepercayaan maksudnya adalah adanya suatu perjanjian karena barang masih dalam kekuasaan pembeli ketiga : dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda (pembeli).
Pasal 1 angka 5 UU No. 42 tahun 1999 menyebutkan Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, dengan demikian sebagai pemilik benda dalam kredit kendaraan bermotor adalah orang yang mempunyai utang (atau dalam kalimat yang lebih mudah adalah orang yang mengajukan kredit motor), sedangkan Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. (atau dalam kalimat yang lebih mudah adalah lembaga yang menerima angsuran kredit motor atau finance)
Debitur Tidak Bayar Angsuran
Persoalan muncul apabila debitur tidak membayar angsuran kredit, ini bukan hal baru seringkali terjadi dan bahkan barang diambil secara paksa oleh orang-orang atas perintah dari pihak finance untuk menarik barang karena nunggak angsuran. Untuk menjawab persoalan tersebut
penjelasannya sebagai berikut :
Pasal 15 UU No. 42 tahun 1999 tentang memberikan penjelasan ayat (1) : “Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" ayat (2) : “Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” ayat (3) menyebutkan “Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”
Penjelasannya penerima fidusia (Finance) selaku pemegang sertifikat Jaminan Fiducia dipersamakan dengan orang/Badan Hukum pemegang putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), penerima fidusia tidak perlu lagi mengajukan gugatan ke Pengadilan. Yang menjadi pertanyaan kapan penerima Fiducia dapat menguasai obyek jaminan yang ada pada debitur ? dalam ayat (3) tidak ada penjelasan tentang kapan debitur cidera janji. apakah saat masih berlangsung angsuran atau jatuh tempo, atau pada saat kapan?
Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019, Mahkamah memberikan pertimbangan :
" Kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri. Dengan kata lain, dalam hal ini, pemberi fidusia (debitur) mengakui bahwa dirinya telah “cidera janji” sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur)”
" Dengan demikian telah jelas dan terang benderang sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi). Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang”
Dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi jelas, terdapat 2 (dua) kemungkinan untuk menarik obyek yang diperjanjikan oleh kreditur dari pemberi Fidusia (debitur) yaitu;
1.) Debitur mengakui bahwa dirinya melakukan cidera janji (wanprestasi)
Apabila Debitur mengakui bahwa dirinya cidera janji dan menyerahkan secara sukarela dari obyek yang diperjanjikan maka Kreditur dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi)
Jadi persoalan cidera janji dalam eksekusi jaminan fidusia, tidak serta merta digugat ke pengadilan. Harus ada kesepakatan para pihak untuk menentukan kapan terjadinya cidera janji, jika sudah ada kesepakatan para pihak dan pemberi hak fidusia (debitur) dengan sukarela menyerahkan obyek jaminan maka penerima fidusia dapat melaksanakan eksekusi.
2. ) Debitur tidak mengakui bahwa dirinya melakukan cidera janji (wanprestasi)
Baca juga:
Kejari Pacitan “NGOJEK” di Tegalombo
|
Debitur tidak mengakui dirinya melakukan cidera janji (wanprestasi) maka jalan yang ditempuh Kreditur adalah mengajukan pelaksanaan eksekusi ke Pengadilan Negeri.
Dalam praktik dilapangan seringkali dijumpai tindakan perampasan obyek fidusia secara paksa atas bantuan debt collector dengan dalih penerapan pasal 15 UU No. 42 tahun 1999 yang menyebutkan “Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Pasal ini tidak mengatur lebih lanjut bagaimana prosedur eksekusi dilaksanakan agar sesuai dengan mekanisme eksekusi atas putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, konsekuensinya prosedur pelaksanaan eksekusi objek fidusia seharusnya dipersamakan atau paling tidak serupa dengan prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijde), dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (HIR);
yang menyebutkan “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”
Pasal 197 ayat (1) Jika sudah lewat waktu yang ditentukan itu, sedangkan orang yang kalah itu belum juga memenuhi keputusan itu, atau jika orang itu, sesudah dipanggil dengan sah, tidak juga menghadap, maka ketua, karena jabatannya, akan memberi perintah dengan surat, supaya disita sekian barang bergerak dan jika yang demikian tidak ada atau ternyata tiada cukup, sekian barang tak bergerak kepunyaan orang yang kalah itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti jumlah uang tersebut dalam keputusan itu dan semua biaya untuk melaksanakan keputusan itu. Ayat (2) Penyitaan dijalankan oleh panitera pengadilan negeri
Dapat disimpulkan Syarat dasar penarikan objek jaminan fidusia adalah :
- harus ada cidera janji,
- harus ada kesepakatan para pihak (tidak bisa sepihak) tentang cidera janji
Kedua syarat tersebut harus terpenuhi untuk menghindari kesewenang-wenangan
Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021 jo. Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019 memberi penegasan eksekusi jaminan fidusia bisa diajukan ke pengadilan negeri oleh kreditur yang bersifat alternatif. Alternatif yang dimaksud adalah pilihan apabila kesepakatan wanprestasi tidak dicapai dan tidak ada penyerahan sukarela objek jaminan fidusia oleh debitur, maka pilihan eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur, tapi minta bantuan pengadilan negeri untuk melakukan eksekusi.
Secara utuh substansi kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan atas kekuasaan sendiri, tapi harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
Dasar Putusan mahkamah adalah memberi keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi.
Menarik obyek fidusi menggunakan Aparat Kepolisian
Pertanyaan diajukan bagaimana apabila penarikan obyek fidusia dengan menggunakan petugas kepolisian ?
Terhadap pertanyaan tersebut dalam Pasal 30: menyebutkan “jaminan fidusia Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia” Penjelasan Pasal 30 “Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang”
Selanjutnya terbit Peraturan Kapolri nomor : 8 tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.
Pasal 1 angka 11 menyebutkan “pengamanan eksekusi adalah tindakan kepolisian dalam rangka memberikan pengamanan dan perlindungan terhadap pelaksanaan eksekusi, pemohon eksekusi, termohon eksekusi pada saat eksekusi dilaksanakan.
Pasal 2 tujuan diterbitkan peraturan ini adalah (a) “terselenggaranya pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia secara aman, tertib, lancar dan dapat dipertanggungjawabkan”
Pasal 4 menyebutkan obyek pengamanan jaminan fidusia meliputi jaminan atas:
a. Benda bergerak yang berwujud
b. Benda bergerak yang tidak berwujud
c. Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
Eksekutor atas perkara keperdataan (privat domain) adalah Ketua Pengadilan Negeri dasar hukumnya adalah pasal 195 ayat (1) menyebutkan “Keputusan hakim dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut. (Rv. 350, 360; HIR. 194.)
Pihak kreditur tidak dapat melakukan eksekusi sendiri secara paksa misalnya dengan meminta bantuan aparat kepolisian, apabila mengenai cidera janji (wanprestasi) oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur yang masih belum diakui oleh debitur dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia.
Kewenangan aparat kepolisian hanya terbatas mengamankan jalannya eksekusi bila diperlukan, bukan sebagai bagian dari pihak eksekutor, kecuali ada tindakan yang mengandung unsur-unsur pidana maka aparat kepolisian baru mempunyai kewenangan untuk penegakan hukum pidananya. berkenaan dengan frasa “pihak yang berwenang” dalam Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 adalah dimaknai “pengadilan negeri” sebagai pihak yang diminta bantuan untuk melaksanakan eksekusi tersebut.
Sebagaimana Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021, Kewenangan kepolisian hanya sebatas menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan eksekusi dan bantuan demikian sudah merupakan kelaziman dalam setiap pengadilan negeri menjalankan fungsi dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata pada umumnya.
Dari pembahasan tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan oleh penerima fidusia atau perusahaan Finance, apabila pemberi fidusia mengakui dirinya cidera janji (wanprestasi), tanpa melalui gugatan ke Pengadilan (parate eksekusi)
2. Penerima fidusia tidak mengakui cidera janji (wanprestasi), penerima fidusia meminta bantuan Pengadilan Negeri untuk pelaksanaan eksekusi, atas perintah Ketua Pengadilan Juru sita Pengadilan Negeri melaksanakan eksekuji obyek jaminan
3. Aparat kepolisian mempunyai tugas membantu melaksanakan pengamanan dalam pelaksanaan eksekusi yang dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri
Referensi :
1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
2. Het Herziene Indonesisch Reglement S.1941-44.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 25 Nopember 2019
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 2/PUU-XIX/2021 tanggal 8 Juni 2021
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 71/PUU-XIX/2021 tanggal 20 Januari 2022
6. Peraturan Kapolri nomor : 8 tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.
Pacitan, 20 Agustus 2024
Kasi Intelejin Kejaksaan Negeri (Kejari) Pacitan, Yusaq Djunarto